Dibanding Rusun, Pengembang Soloraya Lebih Suka Membangun Apartemen
Sahabat Perumahan Fajar Group pasti telah mengetahui jika kebutuhan rumah hunian di Soloraya terus meningkat. Khusus untuk Kota Solo, salah satu pemecahan terbaik untuk mengatasi masalah ini yaitu membangun rumah susun (rusun) sebab lahan yang tersedia sangat terbatas.
Kendati demikian, langkah ini kurang diminati oleh para pengembang. Mereka lebih tertarik rumah subsidi di kabupaten-kabupaten terdekat yang jadi daerah penyangga Solo. Ketua Real Estate Indonesia (REI) Solo Maharani mengungkapkan hal ini saat melakukan wawancara dengan Solopos beberapa waktu lalu.
Menurutnya saat ini Solo sudah tidak memiliki lagi lahan yang dapat digunakan untuk mendirikan rumah subsidi. Jika mau membangun hunian tersebut sahabat Perumahan Fajar Group, pilihan terbaiknya adalah daerah sekitarnya seperti Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Boyolali Wonogiri, dan Sragen.
Maharani juga menginformasikan, rumah subsidi dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) memiliki harga yang sangat terjangkau bagi masyarakat Soloraya. Dengan angsuran selama 30 tahun, hanya perlu mencicil sekitar Rp600.000 per bulan dan setelah lunas akan menjadi mili sendiri.
Antara Rusun dan Apartemen
Secara panjang lebar Maharani menjelaskan, jika mempunyai keinginan membangun hunian di Kota pasti para pengembang lebih memilih apartemen daripada rusun. Salah satu alasannya, biasanya rusun itu tidak memakai konsep kepemilikan pribadi namun cenderung menggunakan sistem sewa atau kontrak dari pemerintah daerah.
Sebagai pilihan lain sahabat Perumahan Fajar Group, pengembang dapat mendirikan apartemen subsidi. Bila ada yang berani mengambil langkah ini dengan harga paling tinggi Rp250 juta, subsidi tersebut akan diberikan oleh pemerintah melalui beberapa program seperti BPJS, Tapera, dan lainnya.
Kemudian untuk rumah subsidi tapak, Maharani menegaskan hal ini merupakan suatu kemustahilan apabila diterapkan di Kota Solo. Pengembang harus berani menyiapkan dana yang sangat besar, terutama terkait dengan harga tanah yang juga sangat mahal. Beda dengan rumah komersil, kemungkinan masih bisa diterapkan oleh pengembang.
Backlog Kota Solo
Pada tahun 2018 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) pernah menggelar kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Dari survei ini sahabat Perumahan Fajar Group, diketahui bahwa angka kekurangan kebutuhan rumah atau backlog di Kota Solo sudah menjadi persoalan serius dan harus dihadapi bersama-sama.
Ada 33.446 keluarga yang tidak memiliki hunian sendiri. Kemudian pada tahun 2021 meningkat menjadi 60.000 keluarga. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari ekonomi, infrastruktur perkotaan, dan pertumbuhan penduduk. Tapi untuk pertumbuhan penduduk, Solo tergolong lebih lambat dibanding tingkat provinsi dan nasional.
Sehubungan dengan urusan ini sahabat Perumahan Fajar Group, pengamat perumahan dari Badan Pengelola Usaha (BPU) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Ariyanto Adhi Nugroho memberi saran khusus. Agar backlog dapat berkurang, Bank Indonesia (BI) harus punya keberanian memberi pelonggaran uang muka belanja rumah hingga 0%.